Seikat #5 Perkawinan Katolik

Seikat ke-5

Hukum dan Moral Perkawinan Katolik

Ajaran Gereja Katolik tentang Perkawinan

Arti, Hakikat, Tujuan dan Sifat-sifat Perkawinan

a) Arti dan hakikat perkawinan secara umum

Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama: dengan hidup selibat-membiara; kedua: menikah atau awan yg hidup selibat dg sukarela.

Dalam arti umum, pada hakikatnya, perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yg sama yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup tsb adalah utk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Karena itu, dlm agama atau kultur tertentu, bila perkawinan itu tdk mendatangkan keturunan, seorang suami dpt mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istrinya untuk dapat memberi keturunan.

b) Tujuan dan sifat dasar perkawinan
  • Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi unitif)
  • Terarah pada keturunan (segi prokreatif). Catatan penting: Dlm perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, tidak membatalkan perkawinan dan tidak boleh menjadi alasan utk meninggalkan pasangan dan melakukan poligami atau poliandri.
  • Menghindari perzinahan dan penyimpangan seksual

Kekhasan Perkawinan Katolik

  • Kanon 1055 KHK 1983: “Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen”
  • Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33)
  • Sifat-sifat perkawinan Katolik:
    • Unitas (eksklusif-monogam)
    • Indissolubilitas (tak terceraikan) à Mat 19;6; Mrk 10:9

Sakramentalitas Perkawinan

Hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis. Kanon 1055 menyebutkan bhwa Kristus telah mengangkat perkawinan mjd sakramen (§1) sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yg telah dibaptis adl sakramen (§2). Kanon tsb menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen.

Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum. Perkawinan demikian bersifat tdk dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas absolut).

Spiritualitas Perkawinan

  • Menghadirkan Kerajaan Allah: sukacita, damai, pengampunan, cinta kasih, kurban
  • Pengudusan relasi kasih
  • Demi kemuliaan Allah

Halangan-halangan nikah

a) Halangan nikah dari hukum ilahi (tdk dpt didispensasi)
  • Impotensi seksual yg bersifat tetap (Kanon 1084)
  • Ikatan perkawinan sebelumnya (Kanon 1085)
  • Hubungan darah dlm garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (Kanon 1091 §1)
b) Halangan nikah dari hukum gerejawi (bisa didispensasi)
  • Tidak cukup umur (Kanon 1083)
  • Beda agama (Kanon 1086)
  • Tahbisan suci (Kanon 1087)
  • Kaul kemurnian publik dan kekal dlm tarekat religius (Kanon 1088)
  • Penculikan (Kanon 1089)
  • Kriminal/pembunuhan teman perkawinan (Kanon 1090)
  • Hubungan darah/consangunitas (Kanon 1091 §2)
  • Hubungan semenda/affinitas (Kanon 1092)
  • Kelayakan publik (Kanon1093)
  • Pertalian hukum/adopsi (Kanon 1094)
 Panggilan Dasar Keluarga Katolik
  1. aMenyambut dan mencintai kehidupan (pro life)
  2. Menjadi pendidik utama dan pertama: iman, moral, sosial
  3. cAmbil bagian dalam misi pewartaan
  4. Aktif dalam hidup bermasyarakat
Tantangan hidup berkeluarga: internal dan eksternal
  1. Internal: kedewasaan pasangan/diri pribadi baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral.
  2. Eksternal: materialistis (semuanya diukur dg uang), hedonisme (kenikmatan fisik-biologis sbg tujuan utama), konsumerisme (nafsu utk mengonsumsi aneka macam barang), utilitarisme (menilai sesuatu hanya berdasarkan kegunaannya), individualisme (mementingkan kepentingan sendiri), relativisme moral (tidak ada nilai universal yg dihidupi dan bersikap permisif; apa saja diperbolehkan misalnya: kumpul kebo), mengejar karier, kesibukan suami-istri, lunturnya nilai kesetiaan (perselingkuhan, kawin-cerai).

Perkawinan Seiman, Beda Gereja dan Beda Agama

Pertama. Dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cinta kasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki supaya umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga. Juga ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.

Kedua, namun demikian Gereja juga menyadari akan kompleksitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan campur Beda Gereja (Mixta Religio) dan Beda Agama (Disparitas Cultus). Maka tetap dimungkinkan adanya perkawinan campur.

  • Perkawinan Campur Beda Gereja (baptis Katolik menikah dg baptis non-Katolik). Perkawinan ini membutuhkan ijin.
  • Perkawinan Campur Beda Agama (baptis Katolik dg tidak dibaptis) untuk sahnya perkawinan dibutuhkan dispensasi.

Catatan: Bila baptisnya di Gereja Kristen sudah dianggap sah oleh Gereja Katolik yaitu forma baptisannya memakai Rumusan Trinitaris (“Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus”) dan dengan materia air murni baik dengan cara dibenam/ditenggelamkan atau dicurahi kepalanya, maka dia tidak perlu menerima baptisan lagi, cukup dengan Upacara Penerimaan. Namun bila baptisannya tidak memakai rumusan Trinitaris atau diperciki, dia perlu menerima baptisan lagi. Baik yang masih harus menerima baptisan ataupun yang cukup dengan upacara penerimaan, perlu ada persiapan yang memadai, sebelum diterima dalam jemaat Katolik. Persiapan itu misalnya menyangkut pengenalan dan keikutsertaan calon dalam kehidupan menjemaat; pelajaran tentang sakramen-sakramen Gereja, Bunda Maria, dll. Lamanya pelajaran tergantung dari pemahaman dan perkembangan calon.

 Persyaratan Mendapatkan Ijin atau Dispensasi

Pihak Katolik diwajibkan membuat janji yang berisi dua hal:

  1. Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
  2. Pihak Katolik berjanji akan berusaha dengan serius untuk mendidik dan membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik. Janji ini acapkali menjadi salah satu permasalahan. Maka sangat dianjurkan untuk dibereskan dahulu, sehingga bisa diantisipasi.

 

Soal Larangan Nikah Ganda (Kan. 1127 § 3)

Kita berhadapan dengan kenyataan: dalam perkawinan campur, tata peneguhan kanonik diwajibkan, sedangkan nikah ganda (peneguhan sebelum atau sesudah peneguhan Katolik masih diadakan peneguhan menurut agama lain) dilarang.

Kesan yang sering timbul dari pihak non-Katolik: Gereja Katolik mau menangnya sendiri, mengapa tidak “fifty-fifty”: baik menurut hukum agama Katolik di Gereja Katolik, maupun menurut agama yang lain. Namun demikian justru hal seperti itulah yang dilarang Kan. 1127 § 3 yang sering sulit dipahami pihak non-Katolik.

 Dalam Pernikahan Beda Gereja (Mixta Religio)

Terbuka perkawinan ekumenis di hadapan pelayan Katolik dan pendeta, kalau perlu bahkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik (bila pernyataan konsensus tidak diterima oleh pelayan Katolik). Maka perlu disepakati pembagian tugas yang jelas antara pelayan Katolik dan pendeta, misalnya firman dan berkat diserahkan kepada pendeta, sedangkan pelaksanaan tata peneguhan Katolik dipercayakan kepada pelayan Katolik, demi sahnya perkawinan.

Dalam Pernikahan Beda Agama (Disparitas Cultus)

Terutama pihak non-Katolik dapat mempunyai keberatan, mungkin bahkan menurut hati nuraninya: sebelum menikah menurut agamanya, perkawinan tidak sah, dan hubungannya dirasakan sebagai zinah. Atau dapat juga terjadi bahwa fakta ini dipakai sebagai kesempatan untuk berpisah (menceraikan jodohnya) dengan alasan: belum menikah sah.

Pastoral Kawin Campur

Memang sudah banyak ajakan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga, tak hanya untuk tahap persiapan perkawinan yang hanya meliputi waktu yang amat pendek, melainkan terutama untuk tahap pasca-nikah yang meliputi hal-hal praktis seluruh hidup perkawinan. Namun demikian upaya-upaya itu kerapkali masih sporadis dan insidental, daripada gerakan yang melibatkan seluruh umat.

Dalam pandangan Gereja, tentang kawin campur sudah disebut unsur-unsur (misalnya sehubungan dengan interaksi antara perkawinan dan agama) yang menggarisbawahi perlunya pastoral perkawinan dan keluarga pada umumnya, dan kawin campur pada khususnya.

Mengingat makna perkawinan dan keluarga, dibandingkan dengan upaya dan program pembinaan, apa yang diusahakan untuk mereka yang hidup berkeluarga masih amat kecil.

Tentang Tribunal Gereja[1]

Seorang teman cerai sipil lima tahun yang lalu, kemudian ia mengurus pembatalan perkawinan ke Tribunal. Menurutnya, jika berhasil, ia akan dapat menikah lagi. Benarkah demikian? Bukankah dalam ajaran Katolik tidak ada perceraian? Lalu, apa itu Tribunal? ~ Mateus

Memang benar, sifat dasar perkawinan Katolik adalah unitas dan indissolubilitas. Sekali menikah dengan sah, maka tak bisa diceraikan. Pernyataan pembatalan, bukanlah perceraian. Perceraian berarti mengakhiri kehidupan bersama dari sebuah perkawinan yang sah. Sedangkan pernyataan pembatalan perkawinan, berarti sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Tribunal Gerejawi yang memaklumkan bahwa perkawinan tersebut tidak sah sejak awal, atau tidak pernah ada.

Tribunal adalah Lembaga Peradilan dalam Gereja Katolik. Pembentukan dan cara kerjanya diatur oleh Hukum Kanonik. Tribunal merupakan tempat diupayakannya penyelesaian suatu perkara menurut ketentuan hukum gerejawi.

Tribunal Perkawinan adalah Pengadilan Perkawinan; perkara yang ditangani terbatas pada aspek-aspek spiritual tertentu dari perkawinan. Gereja membatasi cakupan kewenangannya pada sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam hal ini, pembatalan perkawinan yang dilaksanakan oleh Tribunal Gereja adalah upaya untuk membuktikan/mencari data-data valid tentang tidak sahnya perkawinan sejak sebelum perkawinan dilangsungkan dan bukan setelah perkawinan dilangsungkan.

Patokan yang digunakan berkisar pada tiga hal pokok, yakni:

  1. halangan yang menggagalkan,
  2. kesepakatan yang benar dan penuh,
  3. forma kanonika.

Aspek-aspek perkawinan lain seperti hak pengasuhan anak, kewajiban memberi nafkah terhadap anak atau eks-pasangan, dan pembagian warisan atau harta kekayaan lain menjadi kewenangan Pengadilan Sipil.

Tribunal Perkawinan Keuskupan berfungsi sebagai pelayanan pastoral di keuskupan. Tugas, kewenangan, dan tanggungjawabnya adalah melayani umat beriman di keuskupan yang mengalami masalah yuridis dalam perkawinan. Dalam melaksanakan semua itu, Tribunal terikat oleh prinsip-prinsip dan prosedur yang telah ditetapkan Gereja.

Tujuan Tribunal Perkawinan Keuskupan adalah menjaga dan melindungi martabat perkawinan (dignitas matrimonii), kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum), dan kebaikan Gereja (bonum ecclesiae) secara umum.

Berkenaan dengan Martabat Perkawinan, Tribunal mengupayakan terpeliharanya keutuhan ajaran iman dan moral Gereja tentang hakekat, ciri hakiki, dan tujuan perkawinan. Hakekat perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae). Ciri hakiki perkawinan adalah kesatuan dan tak dapat diceraikan (unitas et indissolubilitas). Sedangkan tujuan perkawinan adalah kebaikan suami-isteri (bonum coniugum), kelahiran & pendidikan anak (bonum prolis).

Singkatnya, melalui prosedur administratif atau prosedur yuridis, Tribunal berusaha memberikan kepastian akan status perkawinan, apakah perkawinan itu sah atau tidak sah menurut Gereja.

Tahap Pertama. Setelah menerima surat permohonan (libellus) dari pemohon, Vikaris Yudisial membuat keputusan untuk menerima atau menolak dengan pertimbangan:

  • Pengadilan tersebut berkompeten atau tidak berkompeten (kan. 1673).
  • Pemohon memiliki kemampuan yuridis atau tidak, dan
  • Kelengkapan atau isi libellus, khususnya humus boni iuris. Perumusan alasan dilakukan dengan mempertemukan pemohon dan pasangannya atau dilakukan oleh hakim sendiri berdasarkan pembicaraan dengan mereka (kan. 1677). Alasan ini harus jelas dan dapat lebih dari satu asal erat berhubungan.

Tahap Kedua. Supaya dapat memulai tahap kedua, Vikaris Yudisial lebih dulu harus membentuk Tribunal atau Pengadilan Gereja melalui dekrit atau keputusan dengan menentukan Hakim, Defensor Vinculi (pembela ikatan perkawinan), dan Notarius. Kalau dia sendiri hakimnya, ia tinggal menentukan Defensor Vinculi dan Notarius.

Setelah itu, ia sendiri, Defensor Vinculi, atau bersama-sama, menyusun dua macam pertanyaan-pertanyaan (questiones) yang sesuai dengan alasan yang telah dirumuskan untuk menginterogasi pihak yang bersangkutan dan para saksi. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu mulailah interogasi satu per satu secara rahasia. Dalam interogasi ini Pembela (kalau ada) dan Defensor Vinculi memiliki hak untuk hadir dan mendengarkannya. Pada kesempatan ini juga hakim dapat meminta pihak yang bersangkutan menyerahkan berbagai dokumen yang perlu dan dianggap mendukung penyelesaian kasus atau perkara tersebut.

Tahap Ketiga. Setelah selesai, semua berkas difotokopi dan diserahkan kepada Pembela (kalau ada) dan Defensor Vinculi. Berdasarkan berkas itu mereka harus menuliskan pendapatnya yang kemudian harus mereka serahkan kepada hakim.

Tahap Keempat. Pada tahap ini, hakim harus memeriksa semua berkas, memperhatikan pendapat tertulis Pembela (kalau ada) dan Defensor Vinculi, serta kemudian membuat putusan. Putusan ini harus tertulis dengan format: Dalam Nama Tuhan, Species Facti, In Iure, In Facto, dan Putusan. Sesudahnya, putusan itu disampaikan kepada pihak yang bersangkutan. Tentang yang terakhir ini, mengingat ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman umat beriman akan halnya dan kemungkinan terjadinya skandal, banyak ahli berpendapat untuk tidak melakukannya. Hanya apabila dinilai sangat penting bagi pihak bersangkutan dan sungguh dapat diperkirakan tidak akan terjadi skandal, hal itu dilaksanakan.

Tahap Kelima. Semua berkas (dari penerimaan libellus hingga putusan hakim) dijadikan satu, difotokopi, disahkan oleh notarius, dan kemudian diserahkan secara langsung atau dikirimkan kepada Pengadilan Banding. Para Hakim bersama Defensor Vinculi dalam Tribunal Tingkat II memeriksanya dan kemudian dapat membuat keputusan: mengkonfirmasi (meratifikasi) putusan hakim tingkat pertama atau mengulangi proses pengadilan dari awal.

Karena itu, bila teman Anda sudah mendapatkan pernyataan tentang tidak sahnya perkawinan dan putusan tersebut sudah mendapatkan ratifikasi dari Tribunal Banding, tentu teman Anda diijinkan menikah lagi, terkecuali kalau terhalang oleh halangan-halangan lain.

Wasana kata

  • Perkawinan Katolik menegaskan kekudusan dan penghargaan pada martabat manusia seutuhnya antara laki-laki & perempuan dg menghidupi prinsip: unitas (monogam) dan indissolubilitas.
  • Perkawinan seiman hendaknya menjadi yang utama dalam perkawinan Katolik.
  • Keluarga Katolik perlu senantiasa menghidupi nilai-nilai Katolik dan mendidik anak-anaknya dalam iman yang kokoh-kuat dan mendalam.
  • Kenyataan adanya perkawinan campur Beda Gereja dan Beda Agama perlu disikapi dengan lebih mendalam dan dengan pendampingan pastoral yang tepat.

 

Similar Posts