|

KEMATIAN DAN HIDUP KEKAL DALAM PENGHAYATAN IMAN KATOLIK

KEMATIAN DAN HIDUP KEKAL

DALAM PENGHAYATAN IMAN KATOLIK

Seikat (Sekolah Iman Katolik) ke-9
Paroki St. Athanasius Agung, Karangpanas, Semarang
Senin, 22 Oktober 2012

Biblis (Alkitabiah)

Pandangan Alkitabiah tentang kematian dalam paham Perjanjian Lama (PL) cenderung bernuansa muram, gelap dan bahkan kadang dialami sebagai situasi sial/apes. Mengapa demikian? Sebab waktu itu orang-orang Yahudi kuno mempunyai pemahaman bahwa dunia ini seperti piring/bidang datar. Orang-orang yang masih hidup, berada di permukaan. Sementara mereka yang mati, ada di lapisan bawah yang tak mungkin dijembatani. Mereka yang mati, menurut pandangan waktu itu, akan masuk ke sheol (dunia bawah/dunia kematian). Kalau seseorang mati, artinya sudah habislah segalanya; lenyaplah dia dari muka bumi dan arwahnya berdiam di dunia yang paling bawah, gelap dan menyedihkan. Kematian dalam arti itu menjadi kesia-siaan. Maka, kematian makin dipandang sebagai keadaan menakutkan, keterpisahan total dan tdk mungkin lagi ”diselamatkan”. Mereka yg mati muda, dipandang sangat menyedihkan karena tidak mendapat kesempatan lebih banyak untuk hidup di dunia.

Baru sekitar 3 abad SM, muncullah pandangan akan kebangkitan badan yang dimunculkan dlm kitab Makabe (2 Mak 7:1-42; 12:38-45). Pandangan iman seperti itu, memberikan perspektif baru bahwa kematian bukan kesia-siaan dan bahwa ada kehidupan setelah baru setelah kematian. Adapun sisa-sisa pandangan kuno tentang pandangan kematian yang suram bahkan diyakini tidak ada kebangkitan setelah kematian, ditunjukkan oleh kaum Saduki saat mereka berdebat dengan Tuhan Yesus (Luk 20:27; Kis 23:8).

Kebangkitan Tuhan Yesus dari wafat di salib makin meneguhkan iman Kristiani bahwa kehidupan setelah kematian sungguh nyata bagi orang yang beriman kepada-Nya. Kematian bukan akhir segala kehidupan tetapi kematian adalah awal dari kehidupan baru yang lebih mulia. Para rasul dan teristimewa St. Paulus menegaskan bahwa di dalam Yesus Kristus yang bangkit mulia, kematian telah dihancurkan dan kehidupan kekal dikaruniakan (2 Kor 5:1-4).

 

Teologis

Bagi umat kristiani, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus menyingkapkan misteri kematian yg tidak pernah dapat dituntaskan sepanjang zaman (bdk. Gaudium et Spes 18). Dalam terang iman kristiani, kematian menjadi peristiwa penyerahan penuh dan utuh kepada Allah. Kematian menjadi saat kita menantikan tindakan Allah yang penuh belas kasih yang juga akan membangkitkan kita karena jasa Yesus Kristus. Karena baptisan, kita disatukan dengan wafat dan kebangkitan Kristus sebagaimana dinyatakan St. Paulus: ”Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya” (Rom 6:5)

Dalam surat pastoralnya, Santo Paulus  mengingatkan kita mengenai orang-orang yang sudah meninggal sebagai tanda harapan akan keselamatan dalam Kristus dan karenanya kita diminta saling menghibur (1Tes 4:13-18). Baik ketika masih di dunia ini, maupun  sesudah kematian, kita bisa saling mendoakan seperti biasa. Kematian tidak memutuskan relasi antar-kita dalam iman akan Yesus Kristus yang bangkit dari alam maut dan mempersatukan kita. Tentu saja, relasi setelah kematian berupa doa, kenangan dan inspirasi, bukan  lagi relasi fisik dan verbal.

Kebenaran ini cocok dengan salah satu butir syahadat iman rasuli: “Aku percaya akan Communio Sanctorum yang diterjemahkan sebagai “persekutuan para kudus”. Sebenarnya, Communio Sanctorum punya dua  arti: 1. Orang-orang Kudus, yakni orang-orang yg sudah dibaptis, baik yang masih hidup maupun yg sudah meninggal. Mereka adalah orang-orang yang sudah “dikuduskan” atau dikhususkan untuk Allah. Arti kedua adalah  hal-hal kudus (sakramen-sakramen Gereja). Maka setelah baptisan dan perayaan sakramen khususnya ekaristi, kita dipersatukan satu sama lain berkat iman dalam Gereja sampai kekal.

Dengan dasar itu, kita berdoa, memohon kepada Allah, agar mereka yang sudah meninggal segera bersatu dengan Allah Tritunggal Mahakudus seutuhnya. Itulah sorga. Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan rahmat dan pengenalan akan Tuhan, tetapi masih mempunyai dosa-dosa ringan dan jiwa mereka belum sempurna, atau mereka belum melakukan penitensi yang layak bagi dosa-dosa mereka, menurut ajaran Gereja, jiwanya terlebih dahulu harus dimurnikan dalam api penyucian.  Api penyucian itu sudah sorga, hanya saja mereka sendiri merasa belum pantas. Mengapa? Alkitab mengatakan “Tidak akan masuk ke dalamnya [Surga] sesuatu yang najis” (Wahyu 21:27). Sehingga hanya jiwa yang bersih atau yang telah dibersihkan sepenuhnya dapat masuk dalam hadirat Tuhan. Jiwa-jiwa dalam api penyucian adalah jiwa-jiwa yang memiliki sukacita yang besar, sebab mereka tahu bahwa suatu hari pasti akan bersatu dengan Allah. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga adalah jiwa-jiwa yang sangat menderita, sebab mereka belum berada sepenuhnya bersama Allah. Mereka merindu namun belum bisa bersatu dengan Allah karena hati mereka masih ada noda cela  ketika meninggal. Jika sorga adalah situasi bersatu dengan Allah yang Mahacinta,  maka orang yang masih ada sedikit saja rasa benci atau masih dalam keadaan berdosa ketika meninggal, akan merasa “belum pantas”. “Api penyucian” (purgatorium) sebetulnya adalah saat pemurnian setelah kematian, diri di hadapan Allah sendiri. Cinta mereka dimurnikan bagaikan emas dimurnikan dalam api.

Jelaslah bagi kita bahwa kematian bukannya dilenyapkan atau peristiwa kesia-siaan sebagaimana dipahami oleh orang orang-orang Yahudi kuno melainkan diubah dari dunia yang fana ke dalam hidup kekal yang ilahi (bdk. Prefasi Arwah I dlm TPE no. 57). Dengan kematian, kehidupan kita yang sementara diubah kepada kehidupan baru yang abadi bersama Allah Tritunggal Mahakudus.

 

Liturgis

Sudah sejak Gereja purba, umat rajin dan tekun mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia. Mengapa? Karena Gereja mempunyai pengharapan yang besar akan kerahiman dan belas kasih Allah kepada umat-Nya sebagaimana ditampakkan dalam peristiwa Yesus Kristus teristimewa melalui wafat dan kebangkitan-Nya.

Perayaan liturgis dan ibadat Gereja untuk orang-orang yang telah meninggal, sudah dikenal sejak awal abad kedua. Doa-doa itu sudah dimasukkan dalam doa-doa perayaan Ekaristi. Meski demikian, berbeda dengan suasana dan semangat orang kafir yang begitu sedih meratapi kematian, suasana dan semangat dasar perayaan liturgis untuk orang mati dalam Gereja sangat diwarnai oleh iman dan pengharapan akan kebangkitan berkat jasa Yesus Kristus. Secara khusus, praktik penghormatan bagi orang yang telah meninggal dilaksanakan tgl 2 November dan pada seluruh bulan November tsb. Meskipun demikian, dalam Ekaristi khususnya pada Doa Syukur Agung, secara tekun dan setia, Gereja juga berdoa bagi para arwah baik warga Gereja maupun semua orang beriman.

Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang menderita kerinduan  di api penyucian dengan doa, amal, perbuatan-perbuatan baik, dan khususnya dengan Perayaan Ekaristi. Tindakan-tindakan kita itu dapat membantu mengurangi “masa tinggal” mereka di api penyucian. Kita percaya bahwa jika seseorang meninggal dunia dengan iman kepada Tuhan, tetapi dengan menanggung dosa-dosa ringan dan luka/rusak relasi akibat dosa, maka Tuhan dalam kasih dan kerahiman Ilahi-Nya akan terlebih dahulu memurnikan jiwa. Setelah pemurnian dilakukan sempurna, maka jiwa akan mendapatkan kekudusan dan kemurnian yang diperlukan agar dapat ikut ambil bagian dalam kebahagiaan abadi di surga.

Jika suatu jiwa telah dibersihkan sepenuhnya, jiwa tersebut akan segera menuju surga untuk menikmati kebahagiaan bersama Yesus, Bunda Maria, semua orang kudus dan para malaikat untuk selama-lamanya! Kita yakin bahwa mereka akan menjadi pendoa bagi kita kepada Tuhan. Kita menolong mereka dan mereka menolong kita. Semuanya ini adalah bagian dari menjadi Keluarga Allah: persekutuan para kudus.

Sementara tiap-tiap individu menghadirkan diri di hadapan pengadilan Tuhan dan harus mempertanggungjawabkan hidupnya masing-masing, persekutuan Gereja yang telah dimulai di dunia ini terus berlanjut, kecuali persekutuan dengan jiwa-jiwa yang dikutuk di neraka. Konsili Vatikan II menegaskan, “Itulah iman yang layak kita hormati, pusaka para leluhur kita: iman akan persekutuan hidup dengan para saudara yang sudah mulai di sorga, atau sesudah meninggal masih mengalami pentahiran.” (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja artikel 51).[1]

Paus Leo XIII dalam ensikliknya, “Mirae Caritatis” (1902) dengan indah menguraikan gagasan ini serta menekankan hubungan antara persekutuan para kudus dengan Misa, “Rahmat saling mengasihi di antara mereka yang hidup, yang diperteguh serta diperdalam melalui Sakramen Ekaristi, mengalir, teritimewa karena keluhuran Kurban [Misa], kepada semua yang termasuk dalam persekutuan para kudus. Sebab persekutuan para kudus adalah…..saling memberikan pertolongan, kurban, doa-doa dan segala kebajikan di antara umat beriman, yaitu mereka yang telah berada di tanah air surgawi, mereka yang berada di api penyucian, dan mereka yang masih melakukan ziarahnya di dunia ini. Mereka semua ini membentuk satu tubuh, yang kepalanya adalah Kristus dan yang prinsip utamanya adalah kasih. Iman mengajarkan bahwa meskipun kurban agung hanya dapat dipersembahkan kepada Tuhan saja, namun demikian kurban dapat dirayakan dalam rangka menghormati para kudus yang sekarang berada di surga bersama Allah, yang telah memahkotai mereka, guna memperoleh perantaraan mereka bagi kita, dan juga, menurut tradisi apostolik, guna menghapus noda dosa saudara-saudara yang telah meninggal dalam Tuhan namun belum sepenuhnya dimurnikan.” Pikirkan gagasan ini: Misa Kudus melampaui ruang dan waktu, mempersatukan segenap umat beriman di surga, di bumi dan di api penyucian dalam Komuni Kudus, dan Ekaristi Kudus sendiri mempererat persatuan kita dengan Kristus, menghapus dosa-dosa ringan serta melindungi kita dari dosa berat di masa mendatang (bdk. Katekismus no. 1391-1396). Oleh sebab itu, mempersembahkan Misa dan doa-doa lain ataupun kurban-kurban demi umat beriman yang telah meninggal dunia merupakan tindakan yang kudus serta terpuji. Ekaristi adalah tanda cinta abadi bagi saudara-saudara kita yang sudah meninggal.

 

Tanda Harapan Sepanjang Sejarah

Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban misa/Ekaristi untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan” (No. 1032). Sebenarnya “zaman dahulu” ini berakar bahkan dalam Perjanjian Lama. Dalam Kitab Makabe yang Kedua, kita membaca bagaimana Yudas Makabe mempersembahkan kurban penghapus dosa dan doa-doa bagi para prajurit yang meninggal dengan mengenakan jimat-jimat, yang dilarang oleh hukum Taurat; “Mereka pun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya.” (12:42) dan “Dari sebab itu maka [oleh Yudas Makabe] disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka” (12:45).  

Dalam sejarah awal Gereja, kita juga mendapati bukti akan adanya doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia. Prasasti yang diketemukan pada makam-makam dalam katakomba-katakomba Romawi dari abad kedua membuktikan praktek ini. Sebagai contoh, batu nisan pada makam Abercius (wafat thn 180), Uskup Hieropolis di Phrygia bertuliskan permohonan doa bagi kedamaian kekal jiwanya. Tertulianus pada tahun 211 menegaskan adanya praktek peringatan kematian dengan doa-doa. Kanon Hippolytus (± thn 235) secara jelas menyebutkan persembahan doa-doa dalam perayaan ekaristi bagi mereka yang telah meninggal dunia.

Kesaksian para Bapa Gereja dengan indah mendukung keyakinan ini: St Sirilus dari Yerusalem (wafat th. 386), dalam salah satu dari sekian banyak tulisan pengajarannya, menjelaskan bagaimana pada saat Misa, baik mereka yang hidup maupun yang telah meninggal dunia dikenang, dan bagaimana Kurban Ekaristi Yesus Kristus mendatangkan rahmat bagi orang-orang berdosa, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. St. Ambrosius (wafat th. 397) menyampaikan khotbahnya, “Kita mengasihi mereka semasa mereka hidup; janganlah kita mengabaikan mereka setelah mereka meninggal, hingga kita menghantar mereka melalui doa-doa kita ke dalam rumah Bapa.” St. Yohanes Krisostomus (wafat th. 407) mengatakan, “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.”

Dengan pemahaman seperti itu, jiwa dan semangat dasar seluruh tata perayaan liturgi dan ibadat di seputar kematian bernada penuh pengharapan dan bukan rasa sesal, sedih maupun putus asa berkepanjangan. Kiranya apa yang diungkapkan oleh St. Paulus kepada umat di Tesalonika menegaskan hal tersebut: ”Kami tidak mau saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” (1 Tes 4:13). Karena itu, seluruh bacaan, homili/renungan, doa dan nyanyian hendaknya bersuasanakan pengharapan akan kebangkitan dan kehidupan kekal. Melalui perayaan dan ibadat untuk orang yang meninggal, kita ingin memuliakan Allah, memohonkan kebahagiaan abadi bagi yang meninggal, meneguhkan iman dan menghibur keluarga yang ditinggalkan, menyadarkan seluruh umat beriman akan kehidupan kekal dan persekutuan para kudus serta memberi kesaksian bagi para hadirin non-Kristen tentang iman kita yang penuh harapan.

Gereja sangat menghargai dan bahkan menganjurkan agar adat istiadat setempat yang baik, diintegrasikan dalam perayaan liturgi pemakaman. Apa yang dipandang baik dalam adat dan masyarakat kita seperti upacara memandikan jenazah, mengafani, memasukkan ke peti mati, tirakatan, pemberkatan, pemberangkatan (misalnya dg tlusuban), pemakaman dan kebiasaan berdoa untuk memperingati arwah (hari ke-3, 7, 40, 100, dst) dan segala simbolisasinya yang baik, hendaklah diterima dan dimasukkan dalam tata perayaan liturgi dan ibadat kematian ini. Sebagai catatan penting, semua upacara di seputar kematian harus diterangi dan dipusatkan pada misteri Paskah Kristus dan pengharapan akan kehidupan kekal (bdk. SC 81).

 

 

 

 

 

 

 

Praksis

  1. Jenazah dari orang yang meninggal tetap harus dihormati dan dirawat dengan baik. Dengan menghormati dan merawat jenazahnya, kita pun menghormati Allah Sang Pencipta Agung. Penghormatan kristiani bahkan tidak hanya pada saat mati tetapi dari awal proses pembuahan, ketika sel sperma & sel telur bertemu. Dalam moral kristiani seperti itulah, pengguguran kandungan yang sengaja dilakukan demi menghilangkan janin merupakan dosa berat. Pengguguran kandungan adalah pembunuhan yang sangat keji & hina terlebih karena janin tidak mampu melindungi dan membela dirinya.
  2. Jenazah dipakaikan baju yang pantas dan baik bahkan kadang juga dirias agar terlihat lebih cantik atau tampan. Mengapa? Karena dlm pandangan iman kita, setiap orang yang meninggal artinya diundang oleh Tuhan untuk bersatu dalam perjamuan kekal (Mat 22:1-4). Dengan demikian, sudah layak dan sepantasnyalah bila seseorang meninggal, ia berdandan/dirias bagai orang yang akan menghadiri suatu perjamuan (misalnya: jagong manten).
  3. Jenazah didoakan dan dimakamkan/dikremasi dengan cara yang pantas seturut iman kristiani. Khusus untuk kremasi, menurut iman kristiani, abu jenazah tidak diperkenankan untuk ”dilarung” (ini tradisi iman Hindu & Budha) atau disimpan di rumah tinggal keluarga. Kalaupun ”dilarung” abu jenazah harus dimasukkan terlebih dahulu dalam wadah yg kuat-aman, baru kemudian dibenamkan di laut. Pada prinsip idealnya, Gereja menegaskan bahwa abu jenazah hendaknya ditempatkan di rumah penitipan/persemayaman abu jenazah (columbarum). Bagaimanapun juga, kita tidak boleh asal-asalan di dalam memperlakukan orang yang telah meninggal sekalipun telah berubah fisik misalnya menjadi kerangka/abu.

 

Tanda RIP adalah singkatan Requiescat in Pace (Semoga dia beristirahat dalam damai).

 

Berkah Dalem – d2t



[1] Mulai paragraf ini sampai kalimat: “Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka” dikutip dari tulisan Rm. Y. Dwi Harsanto, Pr dalam artikel berjudul Memento Mori.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *