Rubrik: Tata Perayaan Perkawinan
Peran Orangtua dan Saksi
-C.H. Suryanugraha OSC-
Selain para pengantin atau mempelai sebagai figur-figur utama dalam Liturgi Perkawinan, peran lainnya dari kaum awam dimainkan oleh kedua orangtua pengantin dan para saksi. Sesungguhnya peran orangtua dan saksi itu tidak ada dalam OCM (Ordo Celebrandi Matrimonium). Namun dalam TPP (Tata Perayaan Perkawinan) terdapat beberapa kesempatan bagi peran aktif mereka.
Sejak perarakan masuk, orangtua dan anggota keluarga pengantin sudah boleh terlibat secara khusus. Peran mereka ini baru bersifat ”melengkapi atau meramaikan”. Mereka berjalan beriringan di belakang putera-puteri mereka, sepasang mempelai yang berbahagia. Mungkin sambil menebar senyuman bagi tetamu undangan yang sudah berada di dalam gedung gereja dan sedang memandangi mereka. Para orangtua pengantin akan menempati bagian-bagian depan pada deretan bangku gereja. Bagi orangtua pengantin biasanya disediakan tempat duduk khusus tak jauh dari para pengantin.
Sementara itu para saksi biasanya tidak ikut dalam perarakan masuk. Entah di mana tempat duduk mereka. Biasanya mereka juga berada di deretan depan bangku gereja agar mudah beraksi pada saat perannya diperlukan.
Apa saja peran khusus para orangtua dan saksi dalam Perayaan Perkawinan? Apa pula makna ritual itu?
Mohon restu
Tradisi pengantin memohonan restu kepada orangtua mungkin bukan hanya milik orang Indonesia. Di antara praktik-praktik perayaan perkawinan Gereja Katolik di seluruh dunia, bisa jadi ritual ini merupakan ciri khas Gereja Indonesia yang telah diwadahi dalam suatu perayaan resmi seperti yang tertuang dalam TPP. Kebijakan itu diambil karena kebiasaan ritual semacam itu masih sering dilakukan di Indonesia dan dianggap baik untuk dipertahankan dalam liturgi Perkawinan Katolik.
Kebiasaan mohon restu biasa diadakan di wilayah keuskupan yang berlatar belakang budaya Jawa, atau secara khusus untuk melayani para pengantin dari Jawa yang menginginkannya di mana pun mereka berada. Dalam tradisi Jawa praktik itu disebut ”sungkeman”. Maknanya adalah ungkapan bakti kepada orangtua dan mohon doa restu. Caranya kurang lebih begini. Kedua orangtua mempelai duduk di kursi, lalu satu per satu kedua mempelai memohon restu. Mempelai perempuan terlebih dahulu menghadap ayahnya, lalu ibunya, satu per satu. Di depan ayah dan ibunya, ia bersimpuh (Jawa: sungkem) sembari mengatupkan kedua tangan seperti menyembah, lalu menyentuhkan pada lutut ayah-ibunya. Demikian selanjutnya yang dilakukan mempelai laki-laki. Mereka memohon restu kepada kedua orangtua atau mertua mereka secara bergantian. Cara ”sungkeman” Jawa ini tentu bisa ditiru atau dimodifikasi oleh siapa pun asal masih sesuai dengan makna yang dimaksudkan. Dalam tradisi Jawa pun ”sungkeman” bukanlah khusus untuk kegiatan perkawinan. Seturut perkembangan zaman, versi atau ekspresinya pun bisa agak variatif. Dengan demikian cara atau bentuk permohonan restu yang ada di setiap budaya daerah dapat saja dijadikan salah unsur dalam liturgi Perkawinan.
Tertulis dalam TPP bahwa ritus ”mohon restu” bersifat opsional, bukanlah keharusan. Bisa digunakan atau ditiadakan. Bila dilakukan tersedia dua kemungkinan, yakni dilaksanakan sebelum atau sesudah rangkaian Perayaan Perkawinan. Seturut pengalaman, ritus ini sering membuat pengantin dan orangtua terharu hingga menitikkan air mata, bahkan sampai menangis tersedu-sedu. Jika dilakukan sebelum mempelai mengucapkan Janji Perkawinan, sering terjadi bahwa sang mempelai masih menangis sehingga tersendat-sendat atau malah gagal mengucapkan Janjinya. Maka, mungkin akan terasa lebih aman jika ritus ini dilakukan sesudahnya saja, sehingga tak akan mengganggu bagian terpenting dalam perayaan liturgi itu.
Ritual mohon restu dimaknai sebagai saat kedua pengantin meminta doa dan restu dari orang-orang yang paling mengenal mereka, kedua orangtuanya sendiri, agar dapat menjalani kehidupan baru sebagai pasangan suami isteri. Mereka masih mengharapkan pendampingan dari kedua orangtuanya. Ritual mohon restu ini dapat dirangkai pula dengan penyerahan benda-benda religius dan devosional dari orangtua kepada para pengantin baru. Maka tampaklah keterkaitan antara ”permintaan” pengantin dengan ”pemberian” dari orangtua sebagai tanggapan dan harapan yang dilambangkan dalam ungkapan simbolis yang berkenaan dengan iman kristiani.
Penyerahan Kitab Suci, Salib, Rosario
Ada yang berpendapat bahwa unsur ritus pelengkap ini berasal dari Italia, namun tak diketahui secara pasti dari wilayah mana. Ritual ini juga tidak ditemukan dalam OCM, namun TPP merawatnya sebagai salah satu unsur dalam Ritus Pelengkap. Sebagai salah satu unsur pelengkap, sebaiknya bagian ini jangan dilangsungkan berlama-lama. Cukup singkat saja.
Benda-benda religius dan devosional yang diberikan oleh orangtua kepada mempelai dianggap mewakili apa yang sebaiknya dan sudah biasa dilakukan oleh umat. Bila dimaknai satu per satu, maka Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang menjadi tuntunan kehidupan para pengikut Kristus. Para pengantin hendaknya jangan melalaikan pegangan dari Allah dan setia menimba pengetahuan ilahi melalui Kitab Suci. Salib adalah simbol kesengsaraan dan kemenangan Kristus. Hidup perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan pengalaman kehidupan. Tidak selalu mendapatkan pengalaman positif, namun juga menemui yang negatif. Semoga suami dan isteri selalu berpasangan ketika menghadapi badai yang menerpa. Sedangkan Rosario melengkapi arah perjalanan orang beriman yang didampingi Santa Perawan Maria, menuju pertemuan dengan Yesus Kristus, Puteranya.
Ketiga benda religius itu sebaiknya diserahkan oleh orangtua mempelai kepada kedua mempelai. Secara simbolis memang diberikan oleh orangtua, namun seringkali asal usul benda-benda itu tidak diusahakan sendiri oleh orangtua, bahkan orangtua meminta mempelai untuk membeli sendiri. Entah bagaimana caranya, sebaiknya diutamakan tindakan simbolis yang utuh dan sejati. Ritual ini dapat diartikan sebagai bekal rohani atau bentuk penyertaan spiritual dari orangtua yang hendak mengingatkan putera-puterinya agar tidak melupakan Allah dan orang-orang kudus, agar mereka selalu ingat juga ke mana harus berpaling ketika kehidupan rumah tangganya mengalami saat suka dan duka.
TPP memberikan satu contoh teks yang bisa diucapkan oleh orangtua pengantin: ”Anak-anak yang terkasih, terimalah Kitab Suci, Salib, dan Rosario ini sebagai bekal perjalanan hidup Perkawinan. Baik dalam suka maupun duka, pergunakanlah semua ini dengan semestinya. Tuhan akan selalu mendampingi langkah kalian. Doa kami pun selalu menyertai kalian.” Mempelai menjawab: ”Terima kasih.” Teks contoh itu dapat diganti teks lain yang senada. Bahkan, benda-benda religius itu pun dapat diganti atau ditambahkan sesuai dengan keyakinan dan praktik kesalehan umat setempat. Misalnya, menambahkan patung Bunda Maria atau Keluarga Kudus dari Nazareth.
Peran saksi
Istilah ”saksi” yang digunakan dalam liturgi ini bisa bermakna ganda. Saksi Perkawinan yang sebenarnya adalah petugas resmi Gereja yang menanyakan pernyataan Kesepakatan Perkawinan dari mempelai dan menerimanya atas nama Gereja. Dalam Hukum Gereja disebut seorang “peneguh”. Ia adalah pemimpin liturgi Perkawinan, bisa seorang uskup, imam, diakon, atau pelayan awam yang diberi tugas oleh Ordinarius Wilayah. Namun, istilah ”saksi” ternyata sudah terlanjur lebih dipahami sebagai orang yang menjadi wali bagi kedua mempelai. TPP pun menggunakannya sesuai dengan pemahaman umum itu (lihat Kitab Hukum Kanonik, kan. 1108, par. 1 dan 2).
Seperti halnya peran untuk orangtua mempelai, dalam tata cara Perayaan Perkawinan Romawi (OCM) sebenarnya tidak ada peran liturgis bagi para saksi. Demi mempertahankan kebiasaan di Indonesia, TPP mencantumkan peran mereka. Sifatnya pun opsional, bukan suatu keharusan. Mereka hanya diminta berdiri mendampingi mempelai ketika saling menyatakan Janji Perkawinan (TPP, 97). Tak perlu ada tanya jawab antara pemimpin perayaan dengan para saksi, apalagi tentang hal-hal yang menjadi tugas dan wewenang Ordinaris dalam penyelidikan kanonik sebelum perayaan Perkawinan itu. Atau tanya jawab yang mirip-mirip seperti itu. Janganlah mereka diberi peran yang tidak sesuai dengan tugas atau fungsi mereka. Salah kaprah seputar praktik seperti ini sebaiknya segera dihentikan. Para saksi cukup berdiri hingga sesudah seruan umat: ”Syukur kepada Allah”, akhir dari Penerimaan Kesepakatan Perkawinan. Kemudian para Saksi kembali ke tempat duduk mereka.
Pada bagian akhir para saksi diminta lagi tampil untuk membubuhkan tanda tangan pada Surat Perkawinan (TPP, 138). Kegiatan ini pun sebenarnya bukan bagian resmi dalam liturgi Perkawinan Romawi. Dapat ditunda pelaksanaannya dan tidak harus di dalam gereja atau tempat perayaan Perkawinan itu.
Peran saksi dan orangtua mempelai dalam liturgi Perkawinan memang bersifat tambahan. Namun, kehadiran dan keterlibatan aktif mereka dalam perayaan itu mungkin akan dapat memberi suasana atau rasa lebih, baik bagi orangtua itu sendiri atau pengantin maupun bagi umat yang menyaksikannya. Secara pastoral keberadaan ritual-ritual yang memerlukan peran mereka cukup bagus bila diadakan, asal jangan terlalu dipaksakan atau dibuat-buat.
- Wakil Ketua Komlit KWI, pengajar di Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia dan Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Beliau adalah putra dari Paroki St. Athansius Agung Karangpanas, Semarang dari keluarga Bpk Michael Soekirma Soerjawinata.