Sharing Minggu Panggilan
Oleh Romo Tri Hartono, Pr
Minggu panggilan adalah saat kita secara khusus, merenungkan panggilan kaum berjubah.
Kaum berjubah itu ada dua macam: rohaniwan dan biarawan-biarawati.
Menurut istilah hukum Gereja, tidak ada rohaniwati. Sebab rohaniwan adalah orang yang membaktikan diri untuk melayani umat sebagai GEMBALA, berkat tahbisan ( tahibisan diakon, imam dan uskup). Hanya ada tiga macam tahbisan. Tidak ada tahbisan kardinal atau pun tahbisan paus. Para rohaniwan dipanggil dan diutus untuk menjadi pintu menuju Tuhan Yesus Kristus. Selain sebagai pintu, rohaniwan juga dipanggil dan diutus untuk menjadi gembala. Dalam bahasa latin “PASTOR”.
Saya, Romo Dodit, Romo Is dan Romo-Romo projo lainnya, adalah seorang imam/rohaniwan tapi bukan biarawan. Sedangkan Romo Smith sj, dan romo-romo yang bukan projo, ya rohaniwan sekaligus biarawan.
Sedangkan biarawan-biarawati, adalah kaum berjubah yang tugas dan panggilannya, menjadi tanda dimensi ilahi dari kehidupan, walau pun masih di dunia tapi hidupnya mengarah kepada yang ilahi. Sehingga kalau ada suster, bruder atau imam biarawan, orang akan spontan ingat bahwa kita meski hidup di dunia, namun sudah mengarah ke kehidupan ilahi, karena dengan menghayati kaul : ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, para biarawan-biarawati, meninggalkan hal-hal yang duniawi.
KETAATAN : lambang menjahui kekuasaan, yang oleh orang lain dicari dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, untuk menjadi DPR RI, orang harus mengeluarkan uang yang banyak. Dengan ketaatan, maka ia melepaskan kekuasaan dan menempatkan diri sebagai orang “suruhan” yang diperintah apa pun taat.
KEMURNIAN : berarti menanggalkan dan meninggalkan kenikmatan duniawi, yang oleh orang pada umumnya dicari. Cari makan yang enak, cari tempat tinggal yang sederhana. Kalau seorang suster rumahnya bagus, makannya enak-enak, pakaiannya mewah dan kendaraan atau fasilitasnya serba lengkap dan mewah, itu bertentangan dengan semangat/kaul kemiskinan.
Saya pernah mengalami tugas di pedalaman Ketapang Kalbar th 1982-86. Makanan saya tidak cocok, tapi karena saya harus hidup, maka saya buat agar saya tidak bisa merasakan enak atau tidak enak. Sebab kalau bisa merasakan saya akan mati, karena tidak akan makan.
Ada juga contoh hidup nyata. Dulu ada Romo Purwadihardjo, imam praja pertama di KAS. Pada suatu saat ia makan durian. Tapi anehnya ia makan durian sak ponggenya. Ketika ditanya mengapa makan durian saponggenya, ia jawab karena durian itu enak, kalau tidak saponggenya, nanti habis banyak.
Jaman dahulu para biarawan-biarawati kalau makan nasi tentu masih banyak padinya. Tujuannya agar jangan larut dalam kenikamatan, karena ketika nasi dikunyah, masih terasa ada padinya sehingga tidak larut dalam keninkmatan.
Dulu novis FIC kalau memecahkan piring, beling pecahannya harus dimasukkan saku jubahnya, biar ia tidak merasa nyaman karena tertusuk pecahan piring, dengan demikian ia selalu ingat akibat memecahkan piring?
KEMISKINAN: banyak orang bekerja keras bahkan sampai ada yang korupsi, supaya dapat banyak uang sehingga hidupnya makmur dan mewah. Dengan kaul kemiskinan, orang meninggalkan kekayaan dan kenyamanan lain-lainnya.
Barangkali jaman sekarang yang duniawi lebih dominan, sehingga membutuhkan orang-orang yang serius menghayati hidup : taat, mlarat (miskin) dan wadat (aelibat). Sehingga dengan berjumpa biarawan-wati yang demikian orang yang terlalu getol mengejar kekuasaan, kenikmatan dan kekayaan, akan sadar.