Seri “Memikat”: Devosi kepada Bunda Maria
Pada bulan Mei dan Oktober, ribuan bahkan jutaan orang Katolik berziarah dan berdoa menghormati secara khusus Bunda Maria. Gereja menghimbau agar setiap anggotanya menaruh hormat yang penuh terhadap Bunda Gereja ini. Ada dua hal ekstrim yang harus dijauhkan dalam sikap seseorang terhadap devosi kepada Bunda Maria. Pertama: godaan untuk melebih-lebihkan peran Ilahi dalam karya penyelamatan. Dalam argumen ini Allah tidak perlu kerja-sama manusiawi. Manusia tidak punya peran apa-apa shg tidak seorang manusia pun, termasuk Maria, bisa layak dihormati. Karena, penghormatan seperti itu akan mengurangi kemuliaan yang hanya ditujukan kepada Allah. Akibat dari ekstrim ini muncul apa yang kita sebut “Mariophobia”. Godaan kedua yakni melebih-lebihkan peran manusiawi dalam karya penyelamatan sampai melalaikan peran Ilahi. Argumen ini menegaskan bahwa Allah membutuhkan sarana untuk menghadirkan diri. Sarana paling nyata adalah Yesus Putra-Nya yang lahir dari rahim Maria. Akibat yang muncul dari ekstrim ini, orang berkeyakinan bhw sarana saja sudah cukup. Hormati Maria saja sdh lumayan atau lazim disebut “Mariocentricisme”.
Gereja menganjurkan kita membangun penghormatan yang benar dan sehat terhadap Bunda Maria. Keibuan Maria dlm kehidupan gereja sungguh-sungguh memberi inspirasi pelayanan bagi gereja. Uskup Fulton J. Sheen dalam bukunya: “Treasure in Clay” menulis: “Saya berkeyakinan bahwa kelemahan agama-agama dewasa ini yakni tidak ada ‘aspek keibuan’. Agama-agama sering terjebak kepada wajah agama yang keras dan fanatik. Mungkin boleh ditegaskan, bahwa dunia kita, negara kita, Gereja kita, terancam konflik dan menjadi goncang, karena banyak orang kehilangan aspek tadi. Jangan sampai kehidupan kita diwarnai dengan kekerasan dan sikap fanatik, justru karena agama-agama kita kehilangan anggotanya yang berhati ibu.