Wanita harus memakai tutup kepala saat ibadah? (1 Kor 11:3-15)
Di perikop ini Rasul Paulus mengajarkan agar para wanita memakai penutup kepala pada saat mengikuti ibadah. Hal ini adalah tradisi yang berlangsung pada jaman itu, yang menjadi ekspresi dari ungkapan hati. Di sini dapat disimpulkan bahwa pakaian yang terlihat dari luar menjadi penting karena mencerminkan disposisi hati/ sikap batin.
Rasul Paulus memberikan alasan teologis tentang pemakaian tudung kepala wanita adalah karena “kepala setiap perempuan adalah laki-laki, kepala setiap laki-laki adalah Kristus, kepala Kristus adalah Allah.” (lih. 1 Kor 11:3). Saat mengatakan hal ini, Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat wanita, sebab para wanita mempunyai persamaan hak dengan kaum pria dan sama-sama dipanggil untuk hidup kudus, namun para wanita mempunyai misi yang khusus. Semua orang, baik perempuan maupun laki- laki dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah Bapa. Dasar ini ditegaskan kembali yaitu pada ayat 11-12, “…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki- laki dan laki- laki tanpa perempuan” sebab keduanya berasal dari Allah. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi yang disampaikan di sini adalah adanya urutan/ struktur kebersamaan yang mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.
2. Ketentuan CDF tentang hal penutup kepala wanita

Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Doktrin Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, antara lain menyatakan bahwa ketentuan pemakaian kerudung pada wanita dalam ibadah, tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian:
“Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….“
3. Hal penutup kepala wanita dalam praktek ibadah umat Katolik

Berikut ini adalah tulisan tentang hal penutup kepala yang kami sarikan dari artikel karangan Colin B. Donovan, STL dari situs EWTN (Eternal World Television Network), silakan klik, sebagai berikut:
a. Memang pada KHK 1917 kan. 1262, 2 dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan- keadaan khusus yang menentukan sebaliknya, dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan.
b. Ketika KHK 1983 dipromulgasikan, kanon ini tidak dinyatakan kembali. Kanon 6, 1 (KHK 1983) menyatakan bahwa jika suatu kanon tidak dimasukkan dalam KHK yang baru ini, artinya sudah tidak diberlakukan lagi.
Dengan demikian, kewajiban kanonik bagi para wanita untuk memakai tutup kepala tidak lagi diharuskan.
4. Tinjauan Moral:
Meskipun demikian, ada pertanyaan, apakah ada kewajiban moral bagi para wanita untuk memakai tutup kepala, meskipun sudah tidak disyaratkan oleh KHK, mengingat hal itu disebutkan dalam 1 Kor 11:3-16?
Di sini yang harus diingat adalah tentu kewajiban moral untuk berpakaian sopan sesuai dengan keadaan (dalam hal ini, pada saat ibadah untuk menerima Komuni kudus) tidak pernah diabaikan. Namun hal kesopanan dalam berpakaian dapat bervariasi dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan/ kebersahajaan berkaitan dengan empat hal tingkah laku:
1. Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan, dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2. Keinginan akan benda- benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan ini diatur oleh kerajinan/ kesungguhan hati, lawannya dari asal ingin tahu.
3. Pergerakan badan dan tingkah laku, yang mensyaratkan dilakukannya dengan semestinya dan dengan sejujurnya…
4. Penampilan luar, contoh dalam berpakaian dan sejenisnya.[1]
Cara berpakaian, tingkah laku, dst. adalah tanda dari seseorang dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang itu tinggal… Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal- hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan/ kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.
Maka hal cara berpakaian (pria menggunakan peci bundar atau wanita dengan tudung pada masa Rasul Paulus) pada dasarnya adalah penerapan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan tradisi/ kebiasaan pada saat itu… Maka hanya Magisterium yang berkompeten untuk menentukan kebiasaan- kebiasaan mana yang dapat dilaksanakan dengan sah, dan kebiasaan tertentu yang mana, yang dapat ditinggalkan, sementara hukum ilahi dipertahankan. Kita akan selalu aman pada saat mengikuti ajaran Gereja, daripada menuruti pertimbangan sendiri, sebab apa yang ditentukan/ diikat oleh Gereja, “akan terikat di surga, dan apa yang dilepaskan oleh Gereja akan terlepas di surga” (lih. Mat 16:13-18).
5. Makna tutup kepala: tanda “ketaatan” kepada pemimpin

Maka pemakaian tutup kepala bukan merupakan kewajiban moral, namun merupakan tanda ketaatan kepada pemimpin.
a. Arti kata ketaatan kepada pemimpin artinya adalah diarahkan dengan cara yang teratur kepada tujuan tertentu, di bawah pengarahan orang lain. Seorang pekerja taat kepada sang supervisor, supervisor kepada manajer, manajer kepada pemilik, sehingga perusahaan dapat berjalan mulus untuk mencapai tujuannya. Demikian halnya pada kehidupan menggereja.
1 Kor 11:3 …. Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah.
1 Kor 11:8-12 Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya…. dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”
Dalam perkawinan Kristiani, suami adalah kepala istri, seperti halnya Kristus adalah kepala Gereja (lih. Ef 4:22-33)…Rasul Paulus mengingatkan hal penciptaan pria dan wanita, dan menyatakan bahwa wanita dibentuk dari pria, bukan sebaliknya. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan dalam Katekese kitab Kejadian, bahwa perkawinan bukan saja hanya sebuah sakramen Kristiani, tetapi juga sakramen kodrati tentang Persekutuan Pribadi dalam Trinitas. Ini mengajarkan kepada kita bahwa kesetaraan pribadi dalam sebuah persekutuan tidak menghancurkan tingkatan/ hirarkinya. Dalam kodrat ilahi, Allah Bapa adalah Kepalanya, dalam Gereja, Kristus adalah Kepalanya, dan dalam perkawinan, suami adalah kepalanya. Memang dalam keteraturan Kristiani, kasih menjadi motif pendorong bagi semua hubungan…
b. Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Gereja melepaskan suatu praktek yang menandai keteraturan urutan hubungan kasih tersebut? Ada beberapa alasan yang saya pandang memungkinkan:
1. Hilangnya pentingnya makna tanda tersebut. Tanda- tanda adalah kekhususan suatu budaya. Suatu tanda, cara berpakaian, ekspresi menyampaikan arti yang dipahami oleh orang- orang pada budaya tertentu. Ketika budaya tidak lagi melihat pentingnya suatu tanda tertentu, maka tanda tersebut kehilangan makna, kecuali bagi mereka yang tetap mempertahankan pemahaman tersebut. … Gereja harus mengajarkan makna tanda sakramental. …Maka ketika pemakaian tudung itu sudah kehilangan makna, hal itu bisa tidak dipraktekkan lagi.
2. Konflik arti. Suatu tanda, meskipun artinya tetap berlaku, namun dapat memberikan arti yang menjadi penghalang bagi orang- orang pada budaya tertentu…. Dalam kasus penutup kepala ini, walau artinya tetap valid, namun dapat dengan mudah disalah artikan sebagai ketundukan semena- mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria. Dalam dunia modern di mana persamaan martabat antara pria dan wanita sebagai pribadi- pribadi yang setara ditekankan, maka alasan ini merupakan alasan yang perlu dipertimbangkan. Kita tidak dapat menghalangi jiwa-jiwa untuk datang pada Yesus … Kanon terakhir dalam KHK mengingatkan kita bahwa keselamatan jiwa- jiwa merupakan hukum yang tertinggi dari Gereja (salus animarum suprema lex).
3. Teologi liturgis. Salah satu dari antara kebenaran- kebenaran doktrin yang dinyatakan dalam Misa adalah kodrat hirarki Gereja. Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus terdiri dari Kristus Sang Kepala dan mereka yang telah dibaptis dalam Kristus, sebagai anggota- anggota-Nya. Perbedaan tingkatan yang terlihat di dalam liturgi, antara imamat jabatan dan imamat bersama (pada umat) adalah tanda sakramental dari Kristus Sang Kepala dan anggota- anggota-Nya. Dalam liturgi dan keteraturan sakramental, kecuali bahwa mereka yang mewakili/ menghadirkan Kristus Sang Kepala harus laki- laki, pembedaan antara jenis kelamin tidaklah penting. Di dalam Pembaptisan “tidak ada laki- laki atau perempuan” (Gal 3:28). Oleh karena itu, dalam kehidupan Gereja tidak mensyaratkan pembedaan jenis kelamin; laki- laki dan perempuan berpartisipasi setara dalam Gereja sebagai orang- orang yang sudah dibaptis.
6. (Yang terpenting): Pribadi yang saleh
Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para wanita untuk mengenakan tutup kepala di gereja, para wanita tetap bebas untuk melakukannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan/ tunduk kepada Tuhan… Mereka yang mengenakan tudung dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap wanita untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban.
Sumber : www.katolisitas.org