Sabda Hidup: Sabtu, 19 November 2016
Hari Biasa
warna liturgi Hijau
Bacaan
Why. 11:4-12; Mzm. 144:1,2,9-10; Luk. 20:27-40. BcO Dan. 3:8-23,24-30
Bacaan Injil: Luk. 20:27-40.
27 Maka datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: 28 “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 29 Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. 30 Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, 31 dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan anak. 32 Akhirnya perempuan itupun mati. 33 Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.” 34 Jawab Yesus kepada mereka: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, 35 tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan. 36 Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. 37 Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. 38 Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” 39 Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata: “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” 40 Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus.
Renungan:
MENJAWAB pertanyaan orang Saduki Yesus menegaskan tentang adanya kebangkitan. Ia menerangkan bagaimana dunia orang yang dibangkitkan dari kematian tersebut. Yang cukup menggelitik saya adalah sikap ahli-ahli Taurat. Biasanya orang-orang ini selalu bertentangan dengan Yesus. Namun kali ini mereka mengatakan, “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali” (Luk 20:39). Mereka membenarkan jawaban Yesus karena mereka merasa pendapatnya tentang kebangkitan dibela Yesus.
Melihat sikap ahli Taurat tersebut pikiranku melayang pada persahabatan orang-orang. Kadang-kadang persahabatan orang-orang hanya dilandasi oleh kesamaan pandangan, kesamaan keinginan, kesamaan harapan. Ketika ada kesamaan itu maka mereka pun bisa bersahabat. Namun ketika kesamaan itu luntur persahabatan pun bisa hilang. Maka jarang sekali orang yang berbeda pandangan bisa bersahabat. Jarang sekali orang yang berbeda pandangan rela membenarkan pendapat lawannya. Yang benar adalah dirinya. Lawannya salah.
Kiranya kita bersama perlu sungguh belajar untuk mengakui kebenaran pendapat sesama bahkan lawan kita. Andaikan kita tidak sanggup mengakui kita bisa berhenti dan diam, tidak memaksakan pengakuan akan pendapat kita. Minimal orang Saduki diam dan tidak lagi bertanya pada Yesus tentang kebangkitan. Kita tepiskan goda dalam diri kita yang seringkali merasa pendapat kitalah yang paling benar.
Kontemplasi:
Bayangkan dialog orang Saduki-Yesus-ahli Taurat. Bandingkan dengan hidup keseharianmu.
Refleksi:
Bagaimana cara mengakui kebenaran pendapat lawan kita?
Doa:
Tuhan, semoga hatiku terbuka akan kebenaran yang ada di luar diri maupun kelompokku. Semoga aku tidak tergoda untuk memaksakan pendapatku. Amin.
Perutusan:
Aku akan belajar menerima pendapat yang berbeda. -nasp-
Sumber : www.sesawi.net